Dapur Media dan Graha Velangkanni

 

Workshop Narasi oleh Suara USU Medan. Workshop diadakan sebelum launching dan diskusi buku Dapur Media di Medan. Workshop Narasi oleh Suara USU Medan. Workshop diadakan sebelum launching dan diskusi buku Dapur Media di Medan.

Dua tempat berkesan yang saya kunjungi selama pelesir di Medan

Oleh Fenta Setia Utama

DUA meja tersusun rapi di depan pintu berwarna cokelat kehitaman. Di atas meja tersusun majalah dan buku serta daftar hadir tamu yang dijaga beberapa orang ber-ID card panitia. Setelah mengisi daftar hadir, para tamu disuguhi majalah berjudul Kover. Saya mulai membuka pintu dan mencari kursi yang tak diduduki. Pintu ini terletak di sebelah kiri dari tempat duduk jika menghadap ke panggung.

Ruangan persegi yang dihiasi bunga ini adalah ruangan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Sumatra Utara (USU), terletak di Jalan Mansyur, Medan. Di ruangan ini, 24 April, Yayasan Pantau, LPM Suara USU, Narasi Sumatera gelar kegiatan bertajuk Launching, Diskusi dan Bedah Buku Dapur Media. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Pantau Jakarta.

Dua hari sebelumnya, panitia telah adakan Workshop Narasi bagi mahasiswa yang ingin belajar menulis panjang, materinya seputar jurnalistik. Pematerinya  Basil Triharyanto dari Yayasan Pantau.

Sekitar lima puluh orang padati Gedung LPPM USU, sebagian besar mahasiswa dan undangan. Acara dimulai 09.45, molor 45 menit dari jadwal.

Jelang berapa menit, pembawa acara membuka dengan ucapkan salam, pemutaran video tentang bagaimana media di Indonesia pasca reformasi dan demokratisasi sejak keruntuhan pemerintahan otoriter rezim Soeharto. Digambarkan media-media yang menuntut demokrasi di bredel. Bagaimana media yang awalnya idealis dan ditindas negara, menjadi industri yang makin otonom dan mementingkan pemilik media.

Di atas panggung empat buah kursi tersusun sedikit melengkung, sebuah meja dan buahan terletak diatasnya. Diskusi dan bedah buku dipandu Januar, Kru Suara USU. Pembicara dipanggil satu persatu untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Basil Triharyanto sebagai penyunting buku langkahkan kaki ke depan diiringi tepuk tangan peserta dan undangan. Menyusul Tikwan Raya Siregar Pemimpin Redaksi Sumatera and Beyond serta J Anto Direktur Kajian, Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS).

Diskusi buku Dapur Media di LPPM USU, Medan, 24 April 2013

Diskusi buku Dapur Media di LPPM USU, Medan, 24 April 2013

Basil dipersilahkan untuk menjelaskan isi buku tersebut. Ia cerita bagaimana dirinya dan rekan-rekan mengumpulkan kembali isu menarik, terutama ruang redaksi dan tokoh-tokoh media. Buku ini bercerita tentang dapur redaksi. “Dapur itu ibarat rahasia media,” katanya. Namun karena persoalan media itu semakin terbuka, ia meyakini bahwa masyarakat juga harus mengetahui bagaimana proses di dalam media.

Semula ada lima belas media, tapi Yayasan Pantau mengacu pada media yang masih hidup, akhirnya tersisa sembilan media. Ada naskah lama yang pernah diangkat oleh Pantau, seperti Tempo, Bisnis Indonesia, Harian Lokal Sriwijaya Pos, Suara Timor Timur dan Jawa Pos. “Akhirnya muncul tiga media lagi, Metro TV, Yahoo Indonesia dan Kaskus,” tambahnya.

Benang merah dari semua kumpulan tulisan dari buku Dapur Media, jelas Basil, bagaimana sejarah jurnalisme Indonesia pasca reformasi, kemerdekaan pers tidak didukung oleh mutu pemberitaan. Rusaknya independensi media juga karena ekonomi dan bisnis, ruang redaksi sudah terkontaminasi dengan iklan, bisnis dan kekuasaan. “Persoalan kualitas jurnalisme menjadi persoalan serius,” tutur Basil.

Tikwan Raya Siregar mengakui independensi dan objektivitas yang merupakan bagian dari prinsip jurnalistik yang ideal sulit diterapkan dalam media saat ini. Pasalnya, hubungan industrial antara media dengan pasar secara tidak langsung akan memengaruhi produk jurnalistik.

Menurut Tikwan, independensi dan objektivitas tidak boleh diletakkan pada medianya, namun pada pembacanya. Pembaca harus dapat menilai sendiri setiap pemberitaan. “Pembaca jangan hanya memahami berita dari fakta dan data yang disajikan, namun lebih menyoroti siapa yang membuat berita tersebut. Di situlah letak independensinya,” katanya.

J Anto, Direktur KIPPAS tidak sepakat dengan Tikwan. Menurutnya, pers atau media tetap harus menjaga idealismenya, tidak terpengaruh kepentingan-kepentingan di tubuh media maupun dari pemilik modal.

Putri Rizki Ardhina, mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU 2010 yang hadir dalam acara tersebut mengakui independensi yang ideal memang sulit dilakukan. Hal ini terlihat dari tidak ada media mana pun di dunia yang benar-benar independen.

Ia sepakat independensi sangat penting bagi media agar tidak mudah mendapat campur tangan dari pihak mana pun, meskipun saat ini banyak media yang harus berpihak pada kepentingan tertentu. “Berpihaklah pada kebenaran, jangan ada berita yang dipelintir,” paparnya.

Apapun kondisinya, tambah J Anto Direktur KIPPAS, prinsip jurnalistik yang sudah ideal seharusnya tak boleh lekang. Pekerja media terutama wartawan harus tahu dengan baik lingkungan kerja yang akan dimasukinya, agar idealismenya tidak luntur.

Puput Jumantirawan dari Forum Pers Mahasiswa Riau mengemukakan pendapat terkait independensi dalam konteks media. Baginya, independensi adalah cara kerja, bukan tujuan. “Banyak yang memahami independensi dilakukan untuk mencapai tujuan,” ujar Puput.

Maruntung Sihombing dari Universitas Negeri Medan sepakat. “Intinya bagaimana mengembalikan marwah jurnalisme itu sendiri, melihat saat ini bayak media yang lari dari fungsi sebenarnya,” ungkapnya.

Pukul 12.00 acara diakhiri dengan pemberian cenderamata kepada para pembicara dan pembedah buku Dapur Media.

 

USAI menghadiri diskusi dan bedah buku Dapur Media, saya melanjutkan perjalanan ke Jalan Sakura III No.7-10 Komplek Taman Sakura Indah,Tanjung Selamat, Medan. Awalnya saya mengira bangunan yang puncak kubahnya sudah terlihat ketika melewati komplek Perumahan Taman Sakura Indah dan Perumahan Alamanda Indah di daerah Sunggal ini, sebuah kuil tempat peribadatan umat Hindu keturunan India atau Suku Tamil di Kota Medan. Namun ia bukan kuil, melainkan sebuah gereja Katolik bernama Gereja Graha Maria Annai Velangkanni.

Gereja Graha Maria Annai Velangkanni Medan, Sumatera Utara

Gereja Graha Maria Annai Velangkanni Medan, Sumatera Utara

 

Pintu gerbang bangunan ini berupa miniatur rumah adat Karo. Pagarnya dihiasi relief orang-orang mengenakan pakaian adat berbagai etnis di Indonesia. Ia menggambarkan bahwa tempat ini terbuka bagi siapa saja tanpa memandang suku dan ras.

Sang inisiator, Pastor James Bharataputra S.J menemani saya memahami makna di setiap sudut gereja.

“Ini graha, rumah tempat orang mencari pengalaman dan mengalami kuasa Tuhan. Semua orang yang mengasihi Bunda Maria serta percaya akan kekuatannya, maka Maria akan menuntun para peziarah kepada Yesus, puteranya yang menyelamatkan,” tuturnya.

Bangunan utama gereja berbentuk menara yang terdiri dari dua tingkat. Lantai dasar dijadikan aula dan lantai atas dipakai sebagai ruang ibadah. Kubah gereja berjumlah tiga, melambangkan konsep Ketuhanan Trinitas dalam agama Katholik yaitu Allah, Yesus dan Roh Kudus. “Menara terdiri dari tujuh jenjang melambangkan tujuh tingkatan surga,” jelas Pastor.

Di sebelah kiri graha terdapat Kapel Annai Velangkanni untuk tempat berdoa harian dan di depannya ada sebuah taman mini untuk memperingati Paus Yohanes Paulus II. Ada pula taman untuk anak-anak dan komplek graha yang bisa menampung pengunjung dari jauh menginap secara gratis.

Untuk menuju lantai atas, saya berjalan kaki melewati tangga melingkar menuju pintu masuk lantai dua. Di lantai dua ini terdapat patung berdiri Annai Velangkanni dan putranya setinggi dua meter yang dibawa langsung dari India. Ada 20 jendela di sana, mengisahkan peristiwa dalam hidup Yesus, dilengkapi tujuh tingkat menara dengan tiga kubah yang melambangkan surga tempat Allah Tri Tunggal bertahta.

“Dulu gereja ini kecil, sempat terbakar. Ajaibnya masih tersisa sebuah kitab dan jutaan uang,” tutur Pastor.

Saya mendengar seksama cerita Pastor James Bharataputra. Setelah terbakar, pada September 2001 pembangunan graha mulai dilakukan selama empat tahun dengan biaya Rp 4 miliar. Dana datang dari para pecinta dan pemuja Maria, baik Katolik maupun non Katolik. “60 persen dana berasal dari umat di Indonesia, 30 persen Singapura, selebihnya dari Malaysia, India, dan Dubai,” kata Pastor.

Gereja_Maria_Annai_Valengkani_djsetiawan_portalkbr_12Sejak diresmikan pada 1 Oktober 2005 yang bertepatan dengan hari pembukaan Bulan Rosario, graha ini telah dikunjungi ribuan pecinta Maria dari dalam dan luar negeri. Sebelum terbakar, graha ini dibangun seorang pendatang dari Tamil, India Selatan yang menganut agama Katholik. Bangunannya yang sekilas seperti Candi Prambanan menganut ciri arsitektur Indo-Moghul.

“Beberapa hari setelah diresmikan datang keajaiban. Sebuah mata air muncul tepat di bawah kaki patung Bunda Maria,” kata Pastor. Sejak itu, banyak orang datang sekedar untuk minum air tersebut. Mereka percaya air bisa menyembuhkan segala penyakit.

“Maria Annai Velangkanni memang dikenal sebagai Maria Bunda Penyembuh. Kami mengundang Anda untuk datang dan melihat sendiri, karena melihat maka percaya,” tutup Pastor berusia 74 tahun ini. #

Jelajah Kampung Bandar

Menelusuri sepotong demi sepotong situs sejarah kawasan Senapelan

Oleh Fenta Setia Utama

DUA puluhan mahasiswa berebut brosur di depan Kantor Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan (P2KK) Universitas Riau Kampus Gobah. Mereka berasal dari Jurusan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia FKIP UR. Setelah brosur berada di tangan, masing-masing mengamati betul daerah mana saja yang akan dikunjungi.
“Oh ini aku tahu tempatnya,” seru Al Rahmat Putra melihat ke satu tempat yang tertera pada brosur. “Eh tapi ini dimana ya?” lanjutnya setelah membalik brosur tersebut. Al mahasiswa Bahasa Inggris. Ia turut serta pada kegiatan Jelajah Kampung Bandar Senapelan yang diadakan P2KK pekan pertama Januari lalu.
Elmustian Rahman Ketua P2KK menjadi pemandu kami. Satu per satu cluster dikunjungi pada kawasan Kampung Bandar Senapelan. Setiap kali berhenti pada satu tempat, kami melihat brosur yang sudah dibagikan. Semua tempat yang dikunjungi mengandung nilai sejarah.
“Kita perlu meninjau kembali hal-hal bersejarah yang ada. Jangan sampai orang-orang mengaburkan sejarah. Kalau sudah dikaburkan, apalagi yang bisa kita pelajari,” ujar Elmustian saat memberi pengarahan. Ia berharap kegiatan ini bermanfaat, sehingga dapat dikembangkan dalam skala kunjungan lebih besar.

KAMPUNG Bandar Senapelan merupakan cikal bakal kota Pekanbaru. Menurut situs resmi kota Pekanbaru, dahulu Pekanbaru dikenal dengan sebutan Senapelan, dipimpin seorang kepala suku disebut batin. Mulanya Senapelan berupa ladang yang lambat laun berubah jadi perkampungan. Kemudian perkampungan Senapelan pindah ke daerah baru yaitu dusun Payung Sekaki yang terletak di muara Sungai Siak. Namun nama Payung Sekaki tidak dikenal pada masanya dan tetap disebut sebagai Senapelan.
Sultan Siak Sri Indrapura bernama Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian mendirikan istana di Kampung Bukit berdekatan dengan perkampungan Senapelan. Sultan pun berinisiatif mendirikan sebuah pekan di Senapelan namun tak berkembang. Usaha Sultan dilanjutkan putranya bernama Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yakni di sekitar pelabuhan sekarang.
Selanjutnya pada 23 Juni 1784 berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar, dan Kampar) nama Senapelan diganti menjadi Pekan Baharu atau Pekanbaru dalam penyebutan sehari-hari. Berdasarkan SK Kerajaan, yaitu Besluit van Her Inlanche Zelf Destuur van Siak No.1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru menjadi bagian dari Kesultanan Siak dengan sebutan distrik.
Pada tahun 1931 Pekanbaru dimasukkan ke dalam wilayah Kampar Kiri yang dikepalai seorang controleur. Setelah pendudukan Jepang tanggal 8 Maret 1942, Pekanbaru dikepalai seorang gubernur militer yang disebut gokung. Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan ketetapan gubernur Sumatera di Medan tanggal 17 Mei 1946 No. 103, Pekanbaru dijadikan sebagai daerah otonom yang disebut haminte atau kota besar.
Setelah itu berdasarkan UU No.22 tahun 1948, kabupaten Pekanbaru diganti menjadi Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru diberikan status kota kecil. Status ini semakin disempurnakan dengan keluarnya UU No.8 tahun 1956. Kemudian status kota Pekanbaru dinaikkan dari kota kecil menjadi kota praja setelah keluar UU No.1 tahun 1957. Berdasarkan Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru resmi menjadi ibukota Propinsi Riau.

SURAU Al-Irhaash tempat bersejarah pertama yang kami kunjungi. Ia berada di Jalan Senapelan. Sebelum memasuki surau bercat hijau ini, ada dua gapura kecil dengan kubah bulat diatasnya. Sebuah catatan sejarah tertempel di bagian luar surau. Ada cerita singkat soal sejarah surau serta foto surau sebelum renovasi.
Surau Al-Irhaash didirikan sekitar tahun 1925, dibangun di atas lahan yang diwakafkan oleh masyarakat Kampung Bukit. Pada zaman perang kemerdekaan surau difungsikan sebagai markas besar pejuang tentara Fisabilillah. Awalnya bangunan surau berbentuk segi empat. Setelah berfungsi sebagai tempat ibadah, ditambah ruang mihrab, tepatnya tahun 1970-an.
Dahulu surau dimanfaatkan sebagai tempat menyiarkan Islam (ceramah) dan mengaji bagi anak-anak. Untuk mengikuti syiar Islam masyarakat Kampung Bukit membuat alat pertanda masuknya waktu sholat. Alat tersebut bernama ketuntung terbuat dari kayu. Pada tahun 1970-an alat tersebut dirubah bentuk menggunakan bahan dari drum yang bagian luarnya dilapisi kulit rusa, dinamakan tabuh.

surau sebelum renovasisurau al-irhash setelah renovasi

Renovasi pertama dilakukan tahun 2005 menggunakan bantuan dana dari Gubernur Riau untuk membangun kamar mandi/WC, tempat wudhu dan penambahan jendela. Tahun 2007 dilakukan renovasi total menggunakan dana donatur yaitu keluarga besar H. Awaloeddin. Bangunan baru masih mempertahankan keaslian bentuk atap dan ukiran.
Sebenarnya surau Al-Irhaash merupakan markas alternatif tentara Fisabillilah. Markas awalnya berada di kediaman H Yahya, di pinggir Sungai Siak. Ia berbentuk rumah panggung dari kayu berwarna cokelat berarsitektur melayu. Rumah disertai tujuh anak tangga terbuat dari batu.
Sebuah catatan kecil ditulis tangan Drs. H.A. Tanwir Ayang, M.Si tokoh budayawan Pekanbaru tertempel di dekat pintu rumah. Catatan tersebut menjelaskan riwayat rumah H. Yahya.
Rumah didirikan tahun 1887. Pada awalnya digunakan untuk basis pejuang Fisabilillah sekaligus Gudang Logistik dan Dapur Umum. Tahun 1958 pasca kemerdekaan rumah tersebut dijadikan tempat tinggal Tentara Nasional Indonesia Pusat di era penumpasan pemberontakan PRRI Sumatera Bagian Tengah khususnya Riau.
Saat ini rumah H. Yahya digunakan untuk kegiatan kelompok Swadaya Masyarakat Tenun Kain Songket di Kampung Bandar Senapelan.
Ada jendela kayu dengan dua daun jendela di setiap ruangan rumah H Yahya. Jendela bisa dibuka dengan cara mendorong ke arah luar. Begitu dibuka, udara tepian Sungai Siak berhembus masuk ruangan. Lantai bagian bawah digunakan sebagai gudang penyimpanan barang.
“Dalam adat melayu, bentuk rumah menentukan strata sosial si empunya rumah,” kata Elmustian. Dalam catatan Tanwir Ayang tertulis H. Yahya seorang tauke getah karet. “Terbukti ini rumah orang kaya. Lihat saja rumahnya tinggi dan tangganya dari batu, banyak pula anak tangganya,” lanjut Elmustian.

Rumah H Yahya tauke getah karet. Rumah ini sudah ada sejak tahun 1887

TEMPAT bersejarah lainnya adalah terminal lama kota Pekanbaru di tepian Sungai Siak. Letaknya tepat di bawah Jembatan Siak III. Situs terminal yang tersisa hanya dinding beratap dari batu. Jembatan Siak III diresmikan pada 3 Desember 2011 dengan nama Jembatan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah oleh Gubernur Riau.
Terminal lama kota Pekanbaru tak terawat. Lumut menempel di tiap bagian hingga menghitam. Jika hujan, rumput di sekitar kawasan terminal terendam air. Coretan-coretan menghiasi dinding batu serta atapnya.

feature terminalterminal lama

Sekitar lima puluh meter dari terminal lama, ada bangunan tua dari kayu. Dindingnya dari papan bercat kuning beratap limas. Bangunannya berbentuk panggung dengan ukiran khas melayu. Lebih dari empat belas tiang sebagai penyangga rumah. Rumah ini dibangun pada 23 Juli 1928, seperti tertera di tangga batunya.
Ini rumah singgah Tuan Qadhi H Zakaria. Ia seorang pimpinan yang mengelola tiga aspek pemerintahan pada masanya: pimpinan adat, pimpinan agama dan pimpinan sosial. Rumah ini terletak di pinggir Jalan Perdagangan, di tepi Sungai Siak.
Rumah singgah tersebut tampak kurang baik pengelolaannya. Beberapa jendela ditutup dengan palang papan dari luar. Tak beraturan. Banyak pakaian usang, sepatu dan sampan di kolong rumah. Tali rafia bergantungan. Pintu masuk digembok seadanya.
Kediaman tetap Tuan Qadhi H Zakaria berada di Jalan Senapelan Gang Pinggir, tepat di belakang kompleks Masjid Raya Pekanbaru. Bangunannya bergaya Eropa klasik dicat putih. Amat kontras dengan rumah singgahnya yang berarsitektur khas Melayu.
Sebagian pekarangan ditanami aneka bunga dan rumput hias. Sebagian lagi berupa tanah dengan bebatuan kecil. Bagian belakang rumah terdapat kamar dua lantai. Di teras sampingnya ada dua kursi jati melengkung serta meja bulat. Sedangkan di pintu depan, bagian kiri dan kanannya tergantung lampu hias.

Rumah singgah Tuan Qadhi H Zakaria dibangun pada 23 Juli 1928. Kondisinya kini memperihatinkan, tak ada perawatan

“HARUSNYA peninggalan kita ini dijaga, kalau ini terkesan dilupakan,” ujar Ade mahasiswa rombongan Jelajah Kampung Bandar Senapelan. Elmustian menambahkan bahwa sejarah tak seharusnya diubah. “Di sini sebenarnya titik nol kota Pekanbaru. Bukan di tugu Zapin di pusat kota sana,” papar Elmustian.
Saat itu jelajah rombongan sudah tiba di tugu titik nol kota Pekanbaru. Ia berada di Gudang Pelabuhan Indonesia I (Pelindo I) Kelurahan Kampung Dalam Kecamatan Senapelan. Tugu titik nol berupa batu persegi sertinggi 70 senti meter. Ia kelihatan kokoh namun sudah menghitam.
Pada batu tertulis “Pad 313, Bkn 65, Pb 0”. Tulisan tersebut menyatakan jarak dari Pekanbaru ke Padang 313 kilometer, Pekanbaru ke Bangkinang 65 kilometer. Di bawahnya lambang Dinas Pekerjaan Umum. Kini tugu titik nol tampak tak terawat lagi.

Tugu Titik Nol

Selemparan batu dari tugu titik nol Pekanbaru, kami melihat sebuah rumah tingkat dua berdinding papan dan triplek. Dilihat dari luar, lantai dua rumah dipenuhi kain jemuran. “Itu dulu kedai pertama Kimteng,” kata Elmustian.
Kimteng dikenal sebagai kedai tempat ngopi di Pekanbaru. Kimteng sesungguhnya merupakan nama orang. Siapa Kim Teng? Nyoto mengabadikan biografi Kim Teng dalam sebuah buku berjudul Dari Perjuangan Hingga Kedai Kopi.

TANG Kim Teng lahir di sebuah rumah sederhana di pinggir kota Singapura pada Maret 1921. Nama kecilnya A Ngau. Ayahnya bernama Tang Lung Chiu dan Maknya Tan Mei Liang. Ia anak ketiga dari 5 bersaudara. Leluhurnya berasal dari kampung Kwanchiu, Tiongkok. Kim Teng pernah tinggal di Siak, Sungai Pakning, Bengkalis, dan Pekanbaru. Ia berasal dari keluarga amat sederhana. Mereka pindah-pindah untuk mencari kehidupan lebih baik.
Ketika berusia 4 tahun, dari Singapura, Kim Teng bersama keluarganya pindah ke Pulau Padang, Bengkalis, Riau. Ayahnya kerja jadi tukang masak camp di sana. Tak berapa lama, mereka pindah lagi ke daerah Siak Kecil, masih di Kabupaten Bengkalis. Di sini kerja Lung Chiu, ayahnya, serabutan. Tahun 1931, saat usia Kim Teng 10 tahun, keluarga putuskan pindah dari Siak Kecil ke Sungai Pakning. Di situ, mereka menumpang di sebuah rumah orang Tionghoa kaya dekat kantor Bea Cukai. Namanya Sun Hin atau biasa disapa ‘Toke Gemuk’. Di sini, profesi Lung Chiu sama dengan di Siak Kecil, kerja serabutan.
Tahun 1934 mereka pindah lagi ke Pulau Bengkalis. Waktu itu usia Kim Teng 13 tahun. Mereka juga sewa rumah sederhana di Jalan Makau–sekarang Jalan Hokian. Di Bengkalis Lung Chiu kerja jadi tukang masak di sebuah sekolah Tionghoa. Bagi Kim Teng, ayahnya seorang pekerja keras dan ulet.
Tahun 1935 Kim Teng pindah ke Pekanbaru. Usianya 14 tahun ketika itu. Di Pekanbaru, ia tinggal bersama kakak keduanya, Tang Tjun Lan dan abang iparnya (suami kakak kedua), Bok Tong An yang sudah lebih dulu tinggal di Pekanbaru. Di Pekanbaru, Kim Teng disekolahkan oleh abang iparnya. Ia bersekolah di Pek Eng, sebuah sekolah Tionghoa milik Chung Hwa Chung Hui. Di sekolah ia belajar banyak hal. Karena sekolah pula ia tahu Belanda dan Jepang sangat kejam menyiksa warga pribumi. Jiwa nasionalismenya mulai tumbuh.
Tahun 1939, Setelah empat tahun Kim Teng di Pekanbaru, keluarganya pindah ke Pekanbaru. Kepindahan ini membuat kondisi ekonomi mereka semakin sulit. Ini memaksa Kim Teng berhenti dari sekolah dan mulai cari kerja untuk bantu ekonomi keluarga. Ia jadi tukang jahit. Kemudian alih profesi jadi pedagang gula tebu dan gula kelapa. Saat itu masih musim penjajahan tentara Jepang.
Tahun 1943, saat berusia 22 tahun, Kim Teng menikah dengan seorang gadis asal Dabo Singkep, Pulau Bangka bernama Tjang Fei Poan. Dua tahun kemudian, putra pertama mereka bernama Kaliono Tenggana lahir. Tak berapa lama setelah itu, Kim Teng putuskan ikut berjuang aktif mempertahankan kemerdekaan. Ia bergabung di Resimen IV Riau bagian Siasat Perang dan Perbekalan pimpinan Hasan Basri. Tugas utamanya, memenuhi permintaan sejumlah barang perbekalan, terutama senjata, alat peledak, pakaian tentara, sepatu, obat-obatan, dan perbekalan lainnya.
Pada masa Agresi Belanda I itu lahir putra kedua Kim Teng dan Fei Poan, tepatnya tahun 1947. Di penghujung perjuangannya, tahun 1949, lahir putri ketiga, Liliana Tenggana. Kelahiran Liliana menjadi tanda Kim Teng menutup lembaran perjuangannya. Tahun 1949 pula, melalui Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia.
Otomatis Kim Teng jadi veteran pejuang ’45. Selain itu, ia tak lebih dari seorang pengangguran. Saat itu usianya 30 tahun dan harus menghidupi seorang istri serta tiga anak. Ia cari akal. Kemudian dapat jalan dengan membantu kakak keduanya, Tjun Lan, yang sudah lebih dulu buka usaha kedai kopi di Pekanbaru. Usaha mereka terletak di Jalan Sago, di sebuah rumah sewa berdinding papan beratap daun rumbia berlantai tanah. Kedai kopi itu bernama ‘Kedai Kopi Yu Hun’. Kedai kopi umumnya dimiliki warga Tionghoa suku Hailam. Konon, kopi orang Hailam lebih nikmat rasanya.
Di tengah kesibukan mengurus kedai kopi, Kim Teng dan Fei Poan kembali dikaruniai dua anak perempuan. Satu lahir tahun 1951, yang satunya tahun 1953. Jadi mereka sudah punya 5 anak. Tahun 1955, kedai kopi Yu Hun pindah ke sekitar tepian Sungai Siak. Mereknya pun diganti menjadi ‘Kedai Kopi Nirmala’. Usaha kedai kopi sempat mandek saat peristiwa pemulangan warga Tionghoa ke Tiongkok tahun 1959. Ber-untung Kim Teng tak kena gusur ke Tiongkok.
Setelah situasi reda, ia mulai buka usaha kedai kopi kembali. Namanya ‘Kedai Kopi Segar’. Saat itulah Kim Teng dan istrinya kembali dikaruniai anak. Tahun 1955 lahir anak lelaki bernama Tang Kok Sun. Setahun berikutnya lahir anak perempuan bernama Tang Lie Lian. Lie Lian menjadi anak bungsu Kim Teng dan Fei Poan.
Seiring dengan bertambah banyak anak, usaha kedai kopi makin berkembang. Tahun 2002, Kedai Kopi Segar, yang lebih dikenal dengan nama ‘Kedai Kopi Kimteng’ dipindahkan ke Jalan Senapelan. Kini, Kedai Kopi Kimteng sudah punya enam cabang di Pekanbaru: Jalan Senapelan (pusat), Mall Ciputra Lantai 2, Mall SKA, Perpustakaan Soeman HS Lantai Dasar, RS Awal Bros Pekanbaru dan Suzuya Departemen Store Senapelan Pekanbaru Lantai 2.
Kedai Kopi Kimteng di Jalan Senapelan jadi tempat kami menikmati sarapan sebelum menjelajah Kam-pung Bandar Senapelan.

Tentang Ku

Sabtu, 29 Desember 2012

Cukup ! Semua Harus Segera Diubah dan Memang Harus !

 

Perjalan hidup tak ada yang tau pasti akan berapa lama, saat ini, esok, atau lusa kah ?. Namun jalani dengan usaha dan doa adalah yang harus. masa depan masih terbentang luas untuk orang sepertiku dan mungkin juga orang sepertimu. Perjalanan hiduplah yang membuatku kuat dan sadar untuk sebuah arti perubahan.

Kisah hidupku mungkin juga pernah dialami oleh sebagian orang, rasanya seperti teriris belati runcing mencabik-cabik organ penting dalam tubuhku. Membuatku bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Tuhan kepadaku.

Aku besar dalam keluarga broken home, keluarga berantakan, keluarga yang hancur tanpa kasih sayang orang tua tentunya.

Aku mahasiwa fakultas ilmu sosial dan ilmu politik di sebuah universitas. Selalu berusaha untuk bangkit dari semua keterpurukan di masa lampau. Sejak usia 14th ditinggal kedua orang tua yang berpisah karena konflik pribadi mereka. Usia remaja saat itu, aku selalu berpindah tempat tinggal dari rumah tetangga ke rumah tetangga lainnya.

Demi mencari perhatian orang tua, aku melakukan kegiatan untuk menjadi pusat perhatian seperti, bolos sekolah, melawan guru, hal yang sama sekali tak pernah aku lakukan.

Anehnya orang tuaku tetap tidak perduli.Padahal hampir setiap hari orang tua dipanggil ke sekolah. Aku semakin terpuruk serta gagal dalam pelajaran. mencoba untuk tegar dan menyimpulkan bahwa perpisahan kedua orang tuaku bukan akhir dari segalanya

Waktu terus berlalu, akhirnya aku lelah untuk terus meratap nasib, toh hanya dengan meratapi, keadaan tidak akan berubah. Seiring waktu berjalan aku beranjak dewasa.

Perpisahan mereka,aku jadikan pengalaman hidup yang lebih baik di masa depan nanti, akan jadi cambuk yang akan melecut semangat untuk merubah keadaan. Begitu semangat yang tertanam di dalam hati.

Aku bingung harus mulai semuanya darimana, coba merubah prilaku baik depan semua orang “agar keliatan baik”, untuk hilangkan pandangan negatif yang melekat padaku. Tapi perubahan yang diakukan tak bertahan lama, bahkan aku kembali melakukan kebiasaan lama yg membuat status brandalan semakin melekat. Sebab perubahan yang aku lakukan hanya untuk menutupi keburukanku, bukan karna kemauan dan sikap mental dari dalam diri sendiri,pikirku dalam hati.

CUKUP!! Aku tidak berhenti disitu, aku terus berusaha perbaiki dan mengoreksi diri. Perubahan yang aku lakukan harus dari dalam diri sendiri bukan karna hanya ingin imbalan dan dipandang baik bagi semua orang.

Setengah perjalanan dari perubahan yang aku lakukan, aku bertemu dengan seorang gadis manis dan senyum yang memikat, sehingga aku jatuh cinta. Seorang gadis polos mulai membuat aku semakin penasaran untuk mendekatinya. berusaha mencari tau tentang dirinyaa. Sampai akhirnya aku dan gadis manis itu menjalin sebuah hubungan. Aku yang telah memberikan seluruh hatiku kepada hanum ternyata bertepuk sebelah tangan, konflik-konflik kecil yang membuat semua permasalahan menjadi besar. Ketidak cocokan diantara kami membuat semuanya hancur .

Kasih sayang dan doa yang tulus tidak akan merubah semuanya kembali, mungkin doa tulus yg selalu aku kumandangkan untuk pertahankan hubungan belum dikabulkan oleh tuhan, sebab tuhan ingin melihat arti kesungguhan dalam diriku.

Tuhan memang selalu senang bercanda dan dekat denganku. Tetapi tidak akan pernah bosan-bosan nya aku bersyukur atas apa yg telah dikehendaki oleh-NYA. Aku selalu meyakini bahwas hari inilah yang terbaik, bukan kemarin, apalagi esok hari.Aku harus tetap wujudkan impian keluarga untuk menjadi seorang sarjana. Dengan sebuah keyakinan akan keadilan Allah swt. Waktu terus berjalan, pelan namun pasti.Setiap langkah dalam detik yang tak lagi pernah kembali.Kesan sederhana selalu terpadu dengan senyum yang selalu mengembang dari bibirku.Langit yang selalu berubah-ubah, kadang mendung, kadang cerah, kadang merah, kadang biru menjadi saksi perjalanan anak manusia yang mencari jati diri dalam kesendirian nya.Namun kini kata “sendiri” bukanlah sebuah kata yang menakutkan bagiku. Dalam kesendirian, Aku memilih untuk selalu berdoa dan berdzikir, dalam kesendirianku akan selalu tersenyum.
Terima kasih tuhan atas karuniamu yang indah dalam hidupku.

 

 

Pesankepadapembaca :

-optimislah untuk melakukan perubahan, jangan mudah berputus asa dengan apa yang telah kita alami dalam kehidupan.

 

-semakin banyak nya kegagalan, semakin dekatlah kita dengan kesuksesan.

-coba kita lihat disekitar kita, begitu banyak prilaku yang manis tetapi hanya berlangsung sesaat, Kemudian kembali ke prilaku lama. Banyak orang menampilkan prilaku baik hanya untuk menyenangkan orang lain, padahalsebenarnya terlalu berat bagi mereka untuk melakukan itu. Jadi, perubahan yang kita lakukan harus dari sikap mental dan kemauan dari dasar diri. Bukan karna orang lain atau mendapatkan imbalan.